Kamis, 06 Juni 2013

Sistem Pembelajaran bagi Tunarungu

BAB I
LAYANAN BAGI ANAK TUNARUNGU

Anak tunarungu tidak menghayati adanya bunyi latar belakang seperti anak normal tetapi bukan berarti mereka tidak bisa menghayati seluruh bunyi yang ada. Kebanyakan anak tunarungu masih memiliki sisa pendengaran pada daerah nada tinggi atau nada rendah. Anak tunarungu yang masih mempunyai banyak sisa pendengaran dapat menghayati bunyi lewat pendengarannya tetapi untuk anak tunarungu yang sisa pendengarnnya amat kecil mereka akan menghayati bunyi-bunyian lewat perasaan vibrasinya.
Anak tunarungu total pun masih mampu mengamati dan menghayati bunyi atau dibuat sadar akan adanya bunyi dengan secara sistematis memberi kesempatan kepada anak tunarungu mengalami pengamatan bunyi, sehingga hal tersebut menjadi bagian dalam perkembangan jiwa mereka, suatu sikap hidup guna menjadi pribadi yang lebih utuh dan harmonis sehingga mereka akan tumbuh menjadi manusia yang lebih normal.
Berkat kemajuan teknologi derajat kehilangan pendengaran seseorang dapat diukur pada usia yang sangat dini bahkan kemajuan teknologi sekarang dapat mendeteksi ketunarunguan saat bayi masih dalam kandungan. Berdasarkan pengukuran ini anak tunarungu dapat digolongkan menurut sisa pendengaran yang masih ada.
Kemajuan teknologi juga ditandai dengan ditemukannya alat bantu mendengar (ABM) yang dari tahun ketahun semakin sempurna bentuknya dan makin sesui dengan kebutuhan anak. Penemuan ABM ini dapat memaksimalkan fungsi pendengaran anak terutama dengan latihan yang teratur dan berkesinambungan. Dalam kegiatan pembelajaran latihan mendengar dimasukkan dalam program khusus untuk anak tunarungu yaitu Bina Bicara dan Bina persepsi gerak, bunyi dan irama (BPGBI).


1.      Bina Bicara
Tindakan yang dilakukan disesuaikan dengan jenis gangguan bicara yang dialami oleh anak atau dari hasil asessment.
Keterlambatan dan gangguan dalam bicara bisa mulai dari bentuk yang sederhana seperti bunyi suara yang “tidak normal” (sengau, serak), Sampai dengan ketidakmampuan untuk mengerti atau menggunakan bahasa, atau ketidakmampuan mekanisme motorik oral dalam fungsinya untuk bicara dan makan.
Seorang anak yang mengalami gangguan berbahasa mungkin saja dapat mengucapkan satu kata dengan jelas tetapi ia tidak dapat menyusun dua kata dengan baik. Sebaliknya, ucapan seorang anak mungkin sedikit sulit untuk dimengerti, tetapi ia dapat menyusun kata-kata yang benar untuk menyatakan keinginannya.
Faktor utama yang mempengaruhi bicara seseorang ialah:
·         Dari dalam diri individu (internal) yaitu faktor yang ada pada diri organisme itu sendiri yang disebut juga faktor individual. Misalnya faktor kematangan atau pertumbuhan, kecerdasan, latihan, motivasi, dan faktor pribadi serta fungsi otot mulut dan fungsi pendengaran.
·         Dari luar individu (eksternal) atau faktor sosial. Faktor sosial antara lain, faktor keluarga/keadaan rumah tangga, guru dan cara mengajarnya, alat-alat yang dipergunakan dalam belajar mengajar, lingkungan dan kesempatan yang tersedia, dan motivasi sosial.

2.      Bina Persepsi Bunyi, Gerak, dan Irama (BPBGI)
a.       Pengertian
Bina Persepsi Gerak Bunyi dan Irama (BPGBI) ialah pembinaan dalam penghayatan bunyi yang dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja, sehingga sisa-sisa pendengaran dan perasaan vibrasi yang dimiliki anak-anak tunarungu dapat dipergunakan sebaik-baiknya untuk berintegrasi dengan dunia sekelilingnya yang penuh bunyi.

b.      Tujuan BPGBI
·         Agar anak tunarungu dapat terhindar dari cara hidup yang semata-mata tergantung pada daya penglihatan saja, sehingga cara hidupnya lebih mendekati anak normal.
·         Agar kehidupan emosi anak tunarungu berkembang dengan lebih seimbang.
·         Agar penyesuaian anak tunarungu menjadi lebih baik berkat dunia pengalamannya yang lebih luas.
·         Agar motorik anak tunarungu berkembang lebih sempurna.
·         Agar anak tunarungu mempunyai kemungkinan untuk mengadakan kontak yang lebih baik sebagai bekal hidup di masyarakat yang mendengar.
Dalam hal kemampuan berbicara, BPGBI dapat membantu agar anak tunarungu dapat membentuk sikap terhadap bicara yang lebih baik dan cara berbicara yang lebih jelas.

c.       Sarana BPGBI
Pelaksanaan program BPGBI perlu didukung sarana yang memadai pula agar hasil yang dicapai dapat maksimal, sarana BPGBI mencakup :
·         Ruang Khusus untuk kegiatan pembelajaran yang sebaiknya dilengkapi dengan medan pengantar bunyi (sistem looping).
·         Perlengkapan terdiri atas perlengkapan nonelektronik dan perlengkapan elektronik.
·         Alat-alat penunjang yaitu perlengkapan bermain.
·         Tenaga khusus pelaksana BPGBI hendaknya memenuhi beberapa persyaratan, antara lain memiliki latar belakang pendidikan guru anak tunarungu, memiliki dasar pengetahuan tentang musik, dan memiliki kreativitas dalam bidang seni tari dan musik.



d.      Materi BPGBI
Materi pokok yang telah dituangkan dalam kurikulum BKPBI untuk anak tunarungu antara lain adalah:
·         bunyi-bunyi latar belakang
·         sifat bunyi
ü  ada tidak ada bunyi
ü  panjang pendek bunyi
ü  keras lembut
ü  cepat lambat
ü  tinggi rendah
·         sumber bunyi
·         bunyi yang dapat dihitung
·         arah bunyi
·         macam-macam gerak dasar
·         macam-macam gerak berirama
·         lambang-lambang sifat bunyi
·         lambang-lambang titik nada dalam notasi musik
·         tanda-tanda notasi musik
·         pengenalan macm-macam alt musik
·         cara memainkan macam-macam alat musik
·         notasi musik
·         persepsi bunyi bahasa
e.       Evaluasi BPGBI
Dalam menilai keberhasilan BPGBI hendaknya jangan tergesa-gesa. Biarkan kesadraan anak berkembang sedikit demi sedikit, pengalaman dan penghayatan  bunyi yang ditemukan sendiri akan menumbuhkan kesadaran yang mendasari keterampilannya memanfaatkan sisa pendengarannya secara aktif.
Tidak mudah untuk menentukan seberapa jauh latihan-latihan BPGBI telah mencapai sasarannya. Dr. A. Van Uden mengatakan kalau seorang anak tunarungu merasa senang menggunakan ABM  nya secara terus menerus dan tanpa ada orang yang menyuruh, hal ini berarti bahwa BPGBI telah mencapai sasarannya atau anak itu telah menikmati dunia bunyi, tanpa ABMnya ia akan merasa kehilangan kebersamaannya dengan dunia sekelilingnya. Keberhasilan BPGBI untuk setiap anak bergantung pada factor berikut:
o   derajat sisa pendengaran anak
o   intelegensi anak
o   metode dan pendekatan
o   kualifikasi guru latihan BPGBI
Aspek yang dapat dievaluasi dalam kegiatan BPGBI adalah:
No.
Aspek yang dievaluasi
Penilaian
1.
Minat
minat terhadap bunyi latar belakang
minat terhadap latihan bina persepsi bunyi dan irama
minat terhadap penggunaan alat bantu dengar
2.
Persepsi bunyi dan irama
membedakan ada dan tak ada bunyi
mengenal sumber bunyi
menghitung bunyi
membedakan sumber bunyi
membedakan bunyi panjang-pendek
membedakan bunyi keras-lembut
membedakan bunyi tinggi-rendah
membedakan bunyi cepat-lambat
mengetahui arah bunyi
mengikuti irama
memainkan alat musik
ekspresi gerakan
3.
Persepsi bunyi bahasa
membedakan ada dan tak ada suara
membedakan panjang-pendek suara
memnbedakan keras-lembut suara
mengetahui arah suara



BAB II
METODE PENGAJARAN BAHASA
BAGI ANAK TUNARUNGU

Terdapat tiga metode utama individu tunarungu belajar bahasa, yaitu dengan membaca ujaran, melalui pendengaran, dan dengan komunikasi manual, atau dengan kombinasi ketiga cara tersebut.
1.      Belajar Bahasa Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)
Orang dapat memahami pembicaraan orang lain dengan “membaca” ujarannya melalui gerakan bibirnya. Akan tetapi, hanya sekitar 50% bunyi ujaran yang dapat terlihat pada bibir (Berger, 1972). Di antara 50% lainnya, sebagian dibuat di belakang bibir yang tertutup atau jauh di bagian belakang mulut sehingga tidak kelihatan, atau ada juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak sama sehingga pembaca bibir tidak dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini sangat menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya terjadi pada masa prabahasa. Seseorang dapat menjadi pembaca ujaran yang baik bila ditopang oleh pengetahuan yang baik tentang struktur bahasa sehingga dapat membuat dugaan yang tepat mengenai bunyi-bunyi yang “tersembunyi” itu. Jadi, orang tunarungu yang bahasanya normal biasanya merupakan pembaca ujaran yang lebih baik daripada tunarungu prabahasa, dan bahkan terdapat bukti bahwa orang non-tunarungu tanpa latihan dapat membaca bibir lebih baik daripada orang tunarungu yang terpaksa harus bergantung pada cara ini (Ashman & Elkins, 1994). Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila digabung dengan sistem cued speech (isyarat ujaran). Cued Speech adalah isyarat gerakan tangan untuk melengkapi membaca ujaran (speechreading).
Delapan bentuk tangan yang menggambarkan kelompok-kelompok konsonan diletakkan pada empat posisi di sekitar wajah yang menunjukkan kelompok-kelompok bunyi vokal. Digabungkan dengan gerakan alami bibir pada saat berbicara, isyarat-isyarat ini membuat bahasa lisan menjadi lebih tampak (Caldwell, 1997). Cued Speech dikembangkan oleh R. Orin Cornett, Ph.D. di Gallaudet University pada tahun 1965 66. Isyarat ini dikembangkan sebagai respon terhadap laporan penelitian pemerintah federal AS yang tidak puas dengan tingkat melek huruf di kalangan tunarungu lulusan sekolah menengah. Tujuan dari pengembangan komunikasi isyarat ini adalah untuk meningkatkan perkembangan bahasa anak tunarungu dan memberi mereka fondasi untuk keterampilan membaca dan menulis dengan bahasa yang baik dan benar. Cued Speech telah diadaptasikan ke sekitar 60 bahasa dan dialek. Keuntungan dari sistem isyarat ini adalah mudah dipelajari (hanya dalam waktu 18 jam), dapat dipergunakan untuk mengisyaratkan segala macam kata (termasuk kata-kata prokem) maupun bunyi-bunyi non-bahasa. Anak tunarungu yang tumbuh dengan menggunakan cued speech ini mampu membaca dan menulis setara dengan teman-teman sekelasnya yang non-tunarungu (Wandel, 1989 dalam Caldwell, 1997).

2.      Belajar Bahasa Melalui Pendengaran
Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa individu tunarungu dari semua tingkat ketunarunguan dapat memperoleh manfaat dari alat bantu dengar tertentu. Alat bantu dengar yang telah terbukti efektif bagi jenis ketunarunguan sensorineural dengan tingkat yang berat sekali adalah cochlear implant. Cochlear implant adalah prostesis alat pendengaran yang terdiri dari dua komponen, yaitu komponen eksternal (mikropon dan speech processor) yang dipakai oleh pengguna, dan komponen internal (rangkaian elektroda yang melalui pembedahan dimasukkan ke dalam cochlea (ujung organ pendengaran) di telinga bagian dalam. Komponen eksternal dan internal tersebut dihubungkan secara elektrik. Prostesis cochlear implant dirancang untuk menciptakan rangsangan pendengaran dengan langsung memberikan stimulasi elektrik pada syaraf pendengaran (Laughton, 1997).
Akan tetapi, meskipun dalam lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran yang dapat dikenali secara cukup baik oleh orang dengan klasifikasi ketunarunguan berat untuk memungkinkannya memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur sintaksis dan fonologi bahasa itu terbatas. Tetapi ini tidak berarti bahwa penyandang ketunarunguan yang berat sekali tidak dapat memperoleh manfaat dari bunyi yang diamplifikasi dengan alat bantu dengar. Yang menjadi masalah besar dalam hal ini adalah bahwa individu tunarungu jarang dapat mendengarkan bunyi ujaran dalam kondisi optimal. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan individu tunarungu tidak dapat memperoleh manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar yang dipergunakannya. Di samping itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar alat bantu dengar yang dipergunakan individu tunarungu itu tidak berfungsi dengan baik akibat kehabisan batrai dan earmould yang tidak cocok.

3.      Belajar Bahasa secara Manual
Secara alami, individu tunarungu cenderung mengembangkan cara komunikasi manual atau bahasa isyarat. Untuk tujuan universalitas, berbagai negara telah mengembangkan bahasa isyarat yang dibakukan secara nasional. Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa komunikasi manual dengan bahasa isyarat yang baku memberikan gambaran lengkap tentang bahasa kepada tunarungu, sehingga mereka perlu mempelajarinya dengan baik. Kerugian penggunaan bahasa isyarat ini adalah bahwa para penggunanya cenderung membentuk masyarakat yang eksklusif.


BAB III
KURIKULUM PEMBELAJARAN
BAGI ANAK TUNARUNGU

Ketunarunguan yang berdampak kepada kemiskinan bahasa dan hambatan dalam berkomunikasi, dianggap menyulitkan orang lain termasuk dalam layanan pendidikannya. Hal ini dapat dibuktikan terutama di Indonesia, hingga kini layanan pendidikan bagi anak tunarungu sebagian besar bersifat segregatif, yaitu pelayanan pendidikan bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus yang terpisah dari satuan pendidikan pada umumnya. Wujud dari pendidikan segregatif ini adalah yang lazim dikenal Sekolah Khusus (SKh).
Sistem segregatif ini baik, jika hanya untuk kepentingan pembelajaran, namun jika sampai kepada layanan pendidikan, segregatif tentu saja akan merugikan anak. Mereka akan kehilangan haknya untuk belajar, bersosialisasi dan berkomunikasi dengan teman sebayanya yang mendengar. Sistem pendidikan segregatif (SKh) sangat tidak membantu perkembangan sosialitas peserta didik. Sehingga tetap sulit bagi anak khusus, khususnya anak tunarungu yang sudah tamat dari SKh untuk dapat diterima sebagai anggota masyarakat. Hal ini merupakan akibat dari adanya penyederhanaan strategi pembelajaran yang tidak memperhitungkan bahwa pergaulan antar peserta didik dalam komunitasnya merupakan bentuk proses pembelajaran natural yang seharusnya tidak boleh diabaikan.
Berdasarkan karakteristik anak tunarungu, khususnya miskinnya bahasa yang disebabkan karena ketunarunguannya yang berakibat ia tidak mengalami masa pemerolehan bahasa seperti halnya anak dengar lainnya, maka dalam pengembangan kurikulum untuk anak tunarungu harus dilandasi pada kompetensi berbahasa dan komunikasi yang selanjutnya dapat diimplementasikan dalam pengajaran bahasa yang menggunakan pendekatan percakapan. Disinilah nampak metode ini sejalan dengan konsep Language Across the Curricullum atau kurikulum lintas bahasa, yang memiliki filosofi bahwa tujuan kurikulum akan dapat dicapai dahulu jika didahului dengan keterampilan dan penguasaan bahasa yang tinggi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dari Language Across the Curricullum itu adalah sebuah metode pembelajaran yang senantiasa disajikan melalui konteks kebahasaan melalui percakapan, yang tahapannya dari mulai penguasaan bahasa, aturan bahasa, hingga ke pengetahuan umum.
Untuk itu perlu dikembangkan satu model kurikulum bagi anak dengan gangguan pendengaran yang berbasiskan Kompetensi Berbahasa dan Komunikasi untuk menuju kecakapan hidup.
Kurikulum yang berlaku di pendidikan khusus untuk anak tunarungu masih menggunakan Kurikulum 1994, sedangkan wacana yang berkembang sekarang ini kurikulum yang berbasis kompetensi sehingga mengarah pada skill dan keterampilan masing-masing peserta didik sesuai dengan kekhususannya. Secara proporsional kurikulum pada SMPKh menitikberatkan pada program keterampilan 42% dan SMAKh menitikberatkan pada program keterampilan 62%. Pelaksanaannya di lapangan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan di mana sekolah tersebut berada dan hal ini pun masih harus disesuaikan dengan keberadaan situasi dan kondisi lingkungan daerah masing-masing. Sebagai contoh:
1.      Sekolah yang berada di lingkungan pantai, maka kurikulum muatan lokalnya antara lain pengolahan hasil laut, atau keterampilan yang menunjang perangkat nelayan, misalnya merajut jaring, jala dan sebagainya;
2.      Sedangkan untuk sekolah yang berada pada daerah pegunungan atau dataran rendah dapat menerapkan keterampilan pertanian, perikanan darat, keterampilan menganyam dan sebagainya.
3.      Sekolah yang berada di perkotaan dapat menerapkan keterampilan otomotif, percetakan, sablon, mengukir atau membatik.
Kurikulum Sekolah Luar Biasa 1994 yang memuat tentang Landasan Program dan Pengembangan; Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP); Tentang Pedoman Pelaksanakan, sedangkan Kurikulum yang telah diberlakukan pada tahun 2003 adalah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), yang mencakup satuan pendidikan TKLB, SDLB, SLTPLB, dan SMLB memberikan kesempatan bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk mengembangkan kompetensinya seoptimal dan setinggi mungkin dan untuk mendapatkan pekerjaan yang berguna agar dapat hidup mandiri di masyarakat dan dapat bersaing di era global. Kurikulum ini memungkinkan siswa dapat belajar atau mempelajari sesuai dengan bakat dan minat serta program keterampilan yang ditawarkan pada lembaga pendidikan khusus, dengan komposisi perbandingan antara teori dan praktik cukup proporsional.















DAFTAR PUSTAKA

Dari Armaini diambil pada tanggal 15 Mei 2011 dari http://armainieducati.wordpress.com/

Sadjaah Ejah dan Darjo Sukarja.1995.Bina Bicara, Persepsibunyi Dan Irama.Bandung:Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan

Dari SLB YAPENAS diambil pada tanggal 21 Juni 2010 dari http://slbyapenas.blogspot.com/2010/06/anak-tunarungu.html

Dari Fera diambil pada tanggal 06 Mei 2012 dari http://11-037fera.blogspot.com/2012/05/tugas-slb-b-pendidikan-bagi-tunarungu.html


Dari Kurnaeni diambil pada bulan Agustus 2007 dari http://11-037fera.blogspot.com/2012/05/tugas-slb-b-pendidikan-bagi-tunarungu.html

1 komentar:

  1. Mas Fauzi, terimakasih ya? Postingan anda ini sangat membantu. Jazakallaahu Khoiron. Salam kenal dan salam ukhuwah dari kami ya?

    BalasHapus