BAB I
LAYANAN BAGI ANAK TUNARUNGU
Anak
tunarungu tidak menghayati adanya bunyi latar belakang seperti anak normal
tetapi bukan berarti mereka tidak bisa menghayati seluruh bunyi yang ada.
Kebanyakan anak tunarungu masih memiliki sisa pendengaran pada daerah nada
tinggi atau nada rendah. Anak tunarungu yang masih mempunyai banyak sisa
pendengaran dapat menghayati bunyi lewat pendengarannya tetapi untuk anak
tunarungu yang sisa pendengarnnya amat kecil mereka akan menghayati bunyi-bunyian
lewat perasaan vibrasinya.
Anak
tunarungu total pun
masih mampu mengamati dan menghayati bunyi atau dibuat sadar akan adanya bunyi
dengan secara sistematis memberi kesempatan kepada anak tunarungu mengalami
pengamatan bunyi, sehingga hal tersebut menjadi bagian dalam perkembangan jiwa
mereka, suatu sikap hidup guna menjadi pribadi yang lebih utuh dan harmonis
sehingga mereka akan tumbuh menjadi manusia yang lebih normal.
Berkat
kemajuan teknologi derajat kehilangan pendengaran seseorang dapat diukur pada usia
yang sangat dini bahkan kemajuan teknologi sekarang dapat mendeteksi
ketunarunguan saat bayi masih dalam kandungan. Berdasarkan pengukuran ini anak
tunarungu dapat digolongkan menurut sisa pendengaran yang masih ada.
Kemajuan
teknologi juga ditandai dengan ditemukannya alat bantu mendengar (ABM) yang
dari tahun ketahun semakin sempurna bentuknya dan makin sesui dengan kebutuhan
anak. Penemuan ABM ini dapat memaksimalkan fungsi pendengaran anak terutama
dengan latihan yang teratur dan berkesinambungan. Dalam kegiatan pembelajaran
latihan mendengar dimasukkan dalam program khusus untuk anak tunarungu yaitu
Bina Bicara dan Bina persepsi gerak, bunyi dan irama (BPGBI).
1. Bina
Bicara
Tindakan yang dilakukan disesuaikan
dengan jenis gangguan bicara yang dialami oleh anak atau dari hasil asessment.
Keterlambatan dan gangguan dalam bicara
bisa mulai dari bentuk yang sederhana seperti bunyi suara yang “tidak normal”
(sengau, serak), Sampai dengan ketidakmampuan untuk mengerti atau menggunakan
bahasa, atau ketidakmampuan mekanisme motorik oral dalam fungsinya untuk bicara
dan makan.
Seorang anak yang mengalami gangguan
berbahasa mungkin saja dapat mengucapkan satu kata dengan jelas tetapi ia tidak
dapat menyusun dua kata dengan baik. Sebaliknya, ucapan seorang anak mungkin
sedikit sulit untuk dimengerti, tetapi ia dapat menyusun kata-kata yang benar
untuk menyatakan keinginannya.
Faktor utama yang mempengaruhi bicara
seseorang ialah:
·
Dari dalam diri individu (internal)
yaitu faktor yang ada pada diri organisme itu sendiri yang disebut juga faktor
individual. Misalnya faktor kematangan atau pertumbuhan, kecerdasan, latihan,
motivasi, dan faktor pribadi serta fungsi otot mulut dan fungsi pendengaran.
·
Dari luar individu (eksternal) atau
faktor sosial. Faktor sosial antara lain, faktor keluarga/keadaan rumah tangga,
guru dan cara mengajarnya, alat-alat yang dipergunakan dalam belajar mengajar,
lingkungan dan kesempatan yang tersedia, dan motivasi sosial.
2. Bina
Persepsi Bunyi, Gerak, dan Irama (BPBGI)
a. Pengertian
Bina Persepsi Gerak Bunyi dan Irama
(BPGBI) ialah pembinaan dalam penghayatan bunyi yang dilakukan dengan
sengaja atau tidak sengaja, sehingga sisa-sisa pendengaran dan perasaan vibrasi
yang dimiliki anak-anak tunarungu dapat dipergunakan sebaik-baiknya untuk
berintegrasi dengan dunia sekelilingnya yang penuh bunyi.
b. Tujuan
BPGBI
·
Agar anak tunarungu dapat terhindar dari
cara hidup yang semata-mata tergantung pada daya penglihatan saja, sehingga
cara hidupnya lebih mendekati anak normal.
·
Agar kehidupan emosi anak tunarungu
berkembang dengan lebih seimbang.
·
Agar penyesuaian anak tunarungu menjadi
lebih baik berkat dunia pengalamannya yang lebih luas.
·
Agar motorik anak tunarungu berkembang
lebih sempurna.
·
Agar anak tunarungu mempunyai
kemungkinan untuk mengadakan kontak yang lebih baik sebagai bekal hidup di
masyarakat yang mendengar.
Dalam hal kemampuan
berbicara, BPGBI dapat membantu agar anak tunarungu dapat membentuk
sikap terhadap bicara yang lebih baik dan cara berbicara yang lebih jelas.
c. Sarana
BPGBI
Pelaksanaan program BPGBI perlu didukung
sarana yang memadai pula agar hasil yang dicapai dapat maksimal, sarana BPGBI
mencakup :
·
Ruang Khusus untuk kegiatan pembelajaran
yang sebaiknya dilengkapi dengan medan pengantar bunyi (sistem looping).
·
Perlengkapan terdiri atas perlengkapan
nonelektronik dan perlengkapan elektronik.
·
Alat-alat penunjang yaitu perlengkapan
bermain.
·
Tenaga khusus
pelaksana BPGBI hendaknya memenuhi beberapa persyaratan, antara lain
memiliki latar belakang pendidikan guru anak tunarungu, memiliki dasar
pengetahuan tentang musik, dan memiliki kreativitas dalam bidang seni tari dan
musik.
d. Materi
BPGBI
Materi pokok yang telah dituangkan dalam
kurikulum BKPBI untuk anak tunarungu antara lain adalah:
·
bunyi-bunyi latar belakang
·
sifat bunyi
ü ada
tidak ada bunyi
ü panjang
pendek bunyi
ü keras
lembut
ü cepat
lambat
ü tinggi
rendah
·
sumber bunyi
·
bunyi yang dapat dihitung
·
arah bunyi
·
macam-macam gerak dasar
·
macam-macam gerak berirama
·
lambang-lambang sifat bunyi
·
lambang-lambang titik nada dalam notasi musik
·
tanda-tanda notasi musik
·
pengenalan macm-macam alt musik
·
cara memainkan macam-macam alat musik
·
notasi musik
·
persepsi bunyi bahasa
e. Evaluasi
BPGBI
Dalam menilai keberhasilan BPGBI
hendaknya jangan tergesa-gesa. Biarkan kesadraan anak berkembang sedikit demi
sedikit, pengalaman dan penghayatan bunyi yang ditemukan sendiri
akan menumbuhkan kesadaran yang mendasari keterampilannya memanfaatkan sisa
pendengarannya secara aktif.
Tidak mudah untuk menentukan seberapa
jauh latihan-latihan BPGBI telah mencapai sasarannya. Dr. A. Van Uden
mengatakan kalau seorang anak tunarungu merasa senang menggunakan
ABM nya secara terus menerus dan tanpa ada orang yang menyuruh, hal
ini berarti bahwa BPGBI telah mencapai sasarannya atau anak itu telah menikmati
dunia bunyi, tanpa ABMnya ia akan merasa kehilangan kebersamaannya dengan dunia
sekelilingnya. Keberhasilan BPGBI untuk setiap anak bergantung pada factor
berikut:
o
derajat sisa pendengaran anak
o
intelegensi anak
o
metode dan pendekatan
o
kualifikasi guru latihan BPGBI
Aspek yang dapat dievaluasi dalam
kegiatan BPGBI adalah:
No.
|
Aspek yang dievaluasi
|
Penilaian
|
1.
|
Minat
minat terhadap bunyi latar belakang
minat terhadap latihan bina persepsi
bunyi dan irama
minat terhadap penggunaan alat bantu
dengar
|
|
2.
|
Persepsi bunyi dan irama
membedakan ada dan tak ada bunyi
mengenal sumber bunyi
menghitung bunyi
membedakan sumber bunyi
membedakan bunyi panjang-pendek
membedakan bunyi keras-lembut
membedakan bunyi tinggi-rendah
membedakan bunyi cepat-lambat
mengetahui arah bunyi
mengikuti irama
memainkan alat musik
ekspresi gerakan
|
|
3.
|
Persepsi bunyi bahasa
membedakan ada dan tak ada suara
membedakan panjang-pendek suara
memnbedakan keras-lembut suara
mengetahui arah suara
|
BAB II
METODE PENGAJARAN BAHASA
BAGI ANAK TUNARUNGU
Terdapat
tiga metode utama individu tunarungu belajar bahasa, yaitu dengan membaca
ujaran, melalui pendengaran, dan dengan komunikasi manual, atau dengan
kombinasi ketiga cara tersebut.
1.
Belajar Bahasa Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)
Orang dapat memahami pembicaraan orang lain dengan
“membaca” ujarannya melalui gerakan bibirnya. Akan tetapi, hanya sekitar 50%
bunyi ujaran yang dapat terlihat pada bibir (Berger, 1972). Di antara 50%
lainnya, sebagian dibuat di belakang bibir yang tertutup atau jauh di bagian
belakang mulut sehingga tidak kelihatan, atau ada juga bunyi ujaran yang pada
bibir tampak sama sehingga pembaca bibir tidak dapat memastikan bunyi apa yang
dilihatnya. Hal ini sangat menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya
terjadi pada masa prabahasa. Seseorang dapat menjadi pembaca ujaran yang baik
bila ditopang oleh pengetahuan yang baik tentang struktur bahasa sehingga dapat
membuat dugaan yang tepat mengenai bunyi-bunyi yang “tersembunyi” itu. Jadi,
orang tunarungu yang bahasanya normal biasanya merupakan pembaca ujaran yang
lebih baik daripada tunarungu prabahasa, dan bahkan terdapat bukti bahwa orang
non-tunarungu tanpa latihan dapat membaca bibir lebih baik daripada orang
tunarungu yang terpaksa harus bergantung pada cara ini (Ashman & Elkins,
1994). Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila digabung dengan
sistem cued speech (isyarat ujaran). Cued Speech adalah isyarat gerakan tangan
untuk melengkapi membaca ujaran (speechreading).
Delapan bentuk tangan yang menggambarkan kelompok-kelompok
konsonan diletakkan pada empat posisi di sekitar wajah yang menunjukkan
kelompok-kelompok bunyi vokal. Digabungkan dengan gerakan alami bibir pada saat
berbicara, isyarat-isyarat ini membuat bahasa lisan menjadi lebih tampak
(Caldwell, 1997). Cued Speech dikembangkan oleh R. Orin Cornett, Ph.D. di
Gallaudet University pada tahun 1965 66. Isyarat ini dikembangkan sebagai
respon terhadap laporan penelitian pemerintah federal AS yang tidak puas dengan
tingkat melek huruf di kalangan tunarungu lulusan sekolah menengah. Tujuan dari
pengembangan komunikasi isyarat ini adalah untuk meningkatkan perkembangan
bahasa anak tunarungu dan memberi mereka fondasi untuk keterampilan membaca dan
menulis dengan bahasa yang baik dan benar. Cued Speech telah diadaptasikan ke
sekitar 60 bahasa dan dialek. Keuntungan dari sistem isyarat ini adalah mudah
dipelajari (hanya dalam waktu 18 jam), dapat dipergunakan untuk mengisyaratkan
segala macam kata (termasuk kata-kata prokem) maupun bunyi-bunyi non-bahasa.
Anak tunarungu yang tumbuh dengan menggunakan cued speech ini mampu membaca dan
menulis setara dengan teman-teman sekelasnya yang non-tunarungu (Wandel, 1989
dalam Caldwell, 1997).
2.
Belajar Bahasa Melalui Pendengaran
Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa individu
tunarungu dari semua tingkat ketunarunguan dapat memperoleh manfaat dari alat
bantu dengar tertentu. Alat bantu dengar yang telah terbukti efektif bagi jenis
ketunarunguan sensorineural dengan tingkat yang berat sekali adalah cochlear
implant. Cochlear implant adalah prostesis alat pendengaran yang terdiri dari
dua komponen, yaitu komponen eksternal (mikropon dan speech processor) yang
dipakai oleh pengguna, dan komponen internal (rangkaian elektroda yang melalui
pembedahan dimasukkan ke dalam cochlea (ujung organ pendengaran) di telinga
bagian dalam. Komponen eksternal dan internal tersebut dihubungkan secara
elektrik. Prostesis cochlear implant dirancang untuk menciptakan rangsangan
pendengaran dengan langsung memberikan stimulasi elektrik pada syaraf pendengaran
(Laughton, 1997).
Akan tetapi, meskipun dalam lingkungan auditer
terbaik, jumlah bunyi ujaran yang dapat dikenali secara cukup baik oleh orang
dengan klasifikasi ketunarunguan berat untuk memungkinkannya memperoleh
gambaran yang lengkap tentang struktur sintaksis dan fonologi bahasa itu
terbatas. Tetapi ini tidak berarti bahwa penyandang ketunarunguan yang berat
sekali tidak dapat memperoleh manfaat dari bunyi yang diamplifikasi dengan alat
bantu dengar. Yang menjadi masalah besar dalam hal ini adalah bahwa individu
tunarungu jarang dapat mendengarkan bunyi ujaran dalam kondisi optimal.
Faktor-faktor tersebut mengakibatkan individu tunarungu tidak dapat memperoleh
manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar yang dipergunakannya. Di samping
itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar alat bantu dengar yang
dipergunakan individu tunarungu itu tidak berfungsi dengan baik akibat
kehabisan batrai dan earmould yang tidak cocok.
3.
Belajar Bahasa secara Manual
Secara alami, individu tunarungu cenderung
mengembangkan cara komunikasi manual atau bahasa isyarat. Untuk tujuan
universalitas, berbagai negara telah mengembangkan bahasa isyarat yang
dibakukan secara nasional. Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa
komunikasi manual dengan bahasa isyarat yang baku memberikan gambaran lengkap
tentang bahasa kepada tunarungu, sehingga mereka perlu mempelajarinya dengan
baik. Kerugian penggunaan bahasa isyarat ini adalah bahwa para penggunanya
cenderung membentuk masyarakat yang eksklusif.
BAB
III
KURIKULUM PEMBELAJARAN
BAGI ANAK TUNARUNGU
Ketunarunguan yang berdampak kepada
kemiskinan bahasa dan hambatan dalam berkomunikasi, dianggap menyulitkan orang
lain termasuk dalam layanan pendidikannya. Hal ini dapat dibuktikan terutama di
Indonesia, hingga kini layanan pendidikan bagi anak tunarungu sebagian besar
bersifat segregatif, yaitu pelayanan pendidikan bagi anak-anak dengan kebutuhan
khusus yang terpisah dari satuan pendidikan pada umumnya. Wujud dari pendidikan
segregatif ini adalah yang lazim dikenal Sekolah Khusus (SKh).
Sistem segregatif ini baik, jika hanya
untuk kepentingan pembelajaran, namun jika sampai kepada layanan pendidikan,
segregatif tentu saja akan merugikan anak. Mereka akan kehilangan haknya untuk
belajar, bersosialisasi dan berkomunikasi dengan teman sebayanya yang
mendengar. Sistem pendidikan segregatif (SKh) sangat tidak membantu
perkembangan sosialitas peserta didik. Sehingga tetap sulit bagi anak khusus,
khususnya anak tunarungu yang sudah tamat dari SKh untuk dapat diterima sebagai
anggota masyarakat. Hal ini merupakan akibat dari adanya penyederhanaan
strategi pembelajaran yang tidak memperhitungkan bahwa pergaulan antar peserta
didik dalam komunitasnya merupakan bentuk proses pembelajaran natural yang
seharusnya tidak boleh diabaikan.
Berdasarkan karakteristik anak
tunarungu, khususnya miskinnya bahasa yang disebabkan karena ketunarunguannya
yang berakibat ia tidak mengalami masa pemerolehan bahasa seperti halnya anak
dengar lainnya, maka dalam pengembangan kurikulum untuk anak tunarungu harus
dilandasi pada kompetensi berbahasa dan komunikasi yang selanjutnya dapat
diimplementasikan dalam pengajaran bahasa yang menggunakan pendekatan
percakapan. Disinilah nampak metode ini sejalan dengan konsep Language Across
the Curricullum atau kurikulum lintas bahasa, yang memiliki filosofi bahwa
tujuan kurikulum akan dapat dicapai dahulu jika didahului dengan keterampilan
dan penguasaan bahasa yang tinggi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
dari Language Across the Curricullum itu adalah sebuah metode pembelajaran yang
senantiasa disajikan melalui konteks kebahasaan melalui percakapan, yang
tahapannya dari mulai penguasaan bahasa, aturan bahasa, hingga ke pengetahuan
umum.
Untuk itu perlu dikembangkan satu model kurikulum bagi anak dengan gangguan pendengaran yang berbasiskan Kompetensi Berbahasa dan Komunikasi untuk menuju kecakapan hidup.
Untuk itu perlu dikembangkan satu model kurikulum bagi anak dengan gangguan pendengaran yang berbasiskan Kompetensi Berbahasa dan Komunikasi untuk menuju kecakapan hidup.
Kurikulum yang berlaku di pendidikan
khusus untuk anak tunarungu masih menggunakan Kurikulum 1994, sedangkan wacana
yang berkembang sekarang ini kurikulum yang berbasis kompetensi sehingga
mengarah pada skill dan keterampilan masing-masing peserta didik sesuai dengan
kekhususannya. Secara proporsional kurikulum pada SMPKh menitikberatkan pada
program keterampilan 42% dan SMAKh menitikberatkan pada program keterampilan
62%. Pelaksanaannya di lapangan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan di
mana sekolah tersebut berada dan hal ini pun masih harus disesuaikan dengan
keberadaan situasi dan kondisi lingkungan daerah masing-masing. Sebagai contoh:
1. Sekolah yang berada di lingkungan pantai, maka kurikulum muatan
lokalnya antara lain pengolahan hasil laut, atau keterampilan yang menunjang
perangkat nelayan, misalnya merajut jaring, jala dan sebagainya;
2. Sedangkan untuk sekolah yang berada pada daerah pegunungan atau dataran
rendah dapat menerapkan keterampilan pertanian, perikanan darat, keterampilan
menganyam dan sebagainya.
3. Sekolah yang berada di perkotaan dapat menerapkan keterampilan
otomotif, percetakan, sablon, mengukir atau membatik.
Kurikulum Sekolah Luar Biasa 1994 yang
memuat tentang Landasan Program dan Pengembangan; Garis-garis Besar Program
Pengajaran (GBPP); Tentang Pedoman Pelaksanakan, sedangkan Kurikulum yang telah
diberlakukan pada tahun 2003 adalah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), yang mencakup
satuan pendidikan TKLB, SDLB, SLTPLB, dan SMLB memberikan kesempatan bagi
anak-anak berkebutuhan khusus untuk mengembangkan kompetensinya seoptimal dan
setinggi mungkin dan untuk mendapatkan pekerjaan yang berguna agar dapat hidup
mandiri di masyarakat dan dapat bersaing di era global. Kurikulum ini
memungkinkan siswa dapat belajar atau mempelajari sesuai dengan bakat dan minat
serta program keterampilan yang ditawarkan pada lembaga pendidikan khusus,
dengan komposisi perbandingan antara teori dan praktik cukup proporsional.
DAFTAR
PUSTAKA
Sadjaah
Ejah dan Darjo Sukarja.1995.Bina Bicara, Persepsibunyi Dan
Irama.Bandung:Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
Dari SLB
YAPENAS diambil pada tanggal 21 Juni 2010 dari http://slbyapenas.blogspot.com/2010/06/anak-tunarungu.html
Dari Fera diambil pada tanggal 06 Mei 2012 dari http://11-037fera.blogspot.com/2012/05/tugas-slb-b-pendidikan-bagi-tunarungu.html
Dari Kurnaeni diambil pada bulan Agustus 2007 dari http://11-037fera.blogspot.com/2012/05/tugas-slb-b-pendidikan-bagi-tunarungu.html
Mas Fauzi, terimakasih ya? Postingan anda ini sangat membantu. Jazakallaahu Khoiron. Salam kenal dan salam ukhuwah dari kami ya?
BalasHapus